Tuesday, December 23, 2014

Kisah Permintaan Maaf Pimpinan Masjid ke Gereja di Malang

Peserta Solat Idul Adha Di Masjid Agung Malang (Suara Surabaya)

Hari masih remang-remang tanah. Matahari belum sepenuhnya merekah. Namun umat muslim di seluruh Indonesia sudah mulai berbondong-bondong berkumpul di masjid untuk merayakan Idul Adha dengan menggelar Salat Ied, Minggu, 5 Oktober 2014.

Tak terkecuali juga umat muslim di kota Apel, Malang. Sejak pukul 05.30 WIB, sekitar 20 ribu jemaah sudah menyemut di sekitar Masjid Agung Jami, Kota Malang, Jawa Timur.

Mereka menggelar sejadah di atas lantai masjid, rumput alun-alun, aspal jalan. Bahkan, karena begitu banyaknya umat yang hadir, meluber sampai  depan halaman Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat Immanuel (GPIB). Letak gereja itu dengan masjid memang hanya selemparan batu --cuma dipisahkan sebuah bangunan kantor asuransi.

Maklum, masjid yang berdiri sejak tahun 1.865 itu cuma mampu menampung tak lebih dari 3.000 jemaah. Akibatnya jemaah yang tak tertampung tumpah ruah di sekitar areal masjid.

Sebelum Salat Ied mulai, Ketua Takmir Masjid Agung Jami, Zainuddin A. Muhit, naik mimbar. Ia memberikan sedikit sambutan kepada seluruh jemaah. Tak lupa memanjatkan puji syukur kepada sang Khalik yang mempersatukan mereka di Minggu pagi itu.

Tapi ini ucapannya yang menyentuh bulu kuduk umat yang hadir: "Saya juga berterimakasih dan meminta maaf kepada jemaat gereja GPIB Immanuel,” kata pria berusia 75 tahun itu arif. Ucapan dan maaf yang entah keberapa itu, terselip di antara sejumlah ucapan terima kasihnya pagi itu.

Dia secara pribadi merasa harus meminta maaf karena jemaah Salat Ied meluber hingga ke depan halaman Gereja GPIB. Otomatis hal itu membuat rutinitas kebaktian berubah. Jemaat gereja GPIB yang biasa beribadah pada saat itu, terpaksa membatalkan misa pagi.

"Bukan masalah banyak atau sedikit umat. Saya pribadi andaikan merasa terganggu juga harus meminta maaf," ujar pria yang telah aktif di masjid itu sejak 1980-an.

Satu minggu sebelumnya, pihak Gereja yang dikenal dengan nama lokal Gereja Jago memang sudah melayangkan surat pemberitahuan ke jemaahnya. Kebaktian pagi diundur 30 menit hingga pukul 08.30 WIB. Alasannya, pada saat itu akan digelar Salat ied.

Masjid Jami Agung Malang & GPIB Immanuel
Pendeta GPIB Immanuel, Emmawati Balue mengatakan, sejak awal sudah mengetahui jadwal ibadah mereka akan berbarengan. Apalagi Hari Raya Idul Fitri tahun ini jatuh pada hari Minggu pagi.

Otomatis ibadah pagi jemaat gereja waktunya disesuaikan lagi. "Kami sebelumnya sudah beritahu umat adanya penundaan dan alasannya," kata dia.

Toleransi gereja GPIB ini tak hanya terlihat pada saat Salat Ied saja. Pada malam takbiran Idul Fitri 2014 kebaktian juga dimajukan pukul 16.30 WIB.  Padahal biasanya ibadah gereja dimulai pukul 18.00 WIB. Perubahan dilakukan gereja untuk menghormati umat muslim yang akan menggelar takbiran pada malam harinya.

Sikap saling menghormati dan tolerasi pimpinan dua tempat ibadah yang letaknya tidak berjauhan itu lantas merebak di media sosial. Berawal dari Facebook, lalu menyebar ke Twitter hingga YouTube.

Gelombang simpati pun bermunculan dari netizen setelah stasiun radio Suara Surabaya pertama kalinya memuat berita 'permintaan maaf' itu di halaman Facebook, Twitter dan portal resminya.

Berita yang menampilkan aktivitas Salat Ied dengan latar gereja memunculkan lebih dari puluhan ribu komentar.

"Indahnya kebersamaan, bisa saling mengerti dan memahami walaupun berbeda agama," tulis salah seorang netizen.

Ada pula yang berkomentar pendek; "Terima kasih teman-teman, Kristen". Dan banyak pula salut dengan sikap pimpinan masjid yang bersedia meminta maaf.

Berita itu menyeruak berkat penyiar dan wartawan radio Suara Surabaya, Restu Indah, yang kebetulan mendengarkan langsung permintaan maaf sang takmir masjid.

Restu yang saat itu sedang libur memutuskan untuk melaporkan dan menuliskannya di media sosial, karena menganggap peristiwa itu penting.

"Saya ingin menyampaikan ini karena momentum yang luar biasa buat umat Islam dan toleransi yang besar dari umat Nasrani," kata Restu kepada BBC Indonesia.

Sejarah kerukunan antara umat di Masjid Agung Jami dan Gereja GPIB Immanuel, memang sudah terjalin sejak ratusan tahun. Apalagi keduanya berada pada satu jalan yang sama, yaitu jalan Merdeka Barat Kota Malang.

Masjid Agung Jami didirikan pada tahun 1.890 di atas tanah goevernement (tanah negara) seluas 3.000 m2. Pembangunan itu terdiri dari dua tahap. Tahap pertama pada 1.890, kemudian tahap kedua dimulai 15 Maret 1903. Dan, masjid itu baru selesai dibangun tanggal 13 September 1903.

Di samping masjid berdiri pula Gereja GPIB Immanuel. Ini adalah gereja Protestan tertua di kota Apel itu. Pertama kali didirikan pada 1861, kemudian direnovasi dan dibangun kembali seperti bentuknya sekarang pada 1912.

Masjid Jami Agung Malang & GPIB Immanuel bertetangga
Menurut budayawan lokal, Dwi Cahyono, gereja dibangun oleh Belanda. Sementara masjid dibangun Bupati Malang yang kala itu masih berada di bawah kekuasaan Belanda.

"Itu... menunjukkan hubungan harmonis antara pribumi yang diwakili dengan masjid dan Belanda yang berupa Gereja di tengah alun-alun sebagai pusat segala kegiatan,” kata pria yang juga Kepala Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Jawa Timur itu.

Meski berhimpitan selama seabad lebih namun tak pernah ada gesekan atau pertentangan. "Kami itu bertetangga sudah lebih dari seratus tahun," ujar Ketua Takmir Masjid Agung, Zainuddin Muchit.

Kata dia, dalam ajaran Islam, walaupun ada perbedaan agama, tetangga itu harus dihormati.

Hal senada juga diutarakan Pendeta Gereja GPIB Immanuel, Emmawati Balue. "Karena kami menyadari kita kan ibarat rumah, kita bertetangga bersebelah rumah."

Itulah sebabnya, apabila pihak gereja Immanuel menggelar Ibadah yang dihadiri jemaat dalam jumlah besar, mereka dapat memarkir mobil atau motor hingga di sekitar Masjid Agung.

"Juga menjelang perayaan Natal, teman-teman pengurus masjid atau remaja masjid biasanya ikut menjaga keamanan gereja," ungkapnya memberi contoh.

Dua tempat ibadah itu menunjukkan contoh bahwa perbedaan bukan sesuatu yang harus disesali. Justru, dengan pemahaman dan toleransi, perbedaan jadi sebuah harmoni yang indah. Kerukunan antara umat beragama karenanya bukan hanya kalimat jargon di undang-undang. Kota Malang membuktikan bahwa kerukunan itu nyata hadir di bumi Indonesia. (eh) 


No comments:

Post a Comment